KENDARI – Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jendral Perbendaharaan Sulawesi Tenggara (Sultra) mencatat pertumbuhan ekonomi regional Sultra pada triwulan II-2025 mengalami pertumbuhan sebesar 5,89% (y-o-y) atau meningkat 0,23% dari triwulan I-2025.
Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan Sultra Iman Widhyanto mengatakan berdasarkan besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku triwulan II-2025 mencapai Rp49,82 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp 29,40 triliun.
“Inflasi Sultra pada Bulan September tercatat sebesar 3,68 (y-on-y) dengan IHK 110,03. Inflasi tertinggi terjadi di Kota Baubau 4,84% (IHK 111,44), sedangkan terendah di Kota Kendari 2,99% (IHK 109,02),” ungkapnya, Selasa (28/10).
Dijelaskan, inflasi y-on-y dipicu kenaikan harga pada beberapa kelompok pengeluaran, yaitu makanan, minuman & tembakau 7,55%, perumahan, air, listrik & BBRT 0,76%; perlengkapan, peralatan & pemeliharaan rutin 0,35%,kesehatan 2,59%, transportasi 1,08%, rekreasi, olahraga & budaya 0,46%; pendidikan 4,28%; penyediaan makanan & minuman/restoran 2,19%; serta perawatan pribadi & jasa lainnya.
Sementara itu, terjadi deflasi pada pakaian & alas kaki 0,91% serta informasi, komunikasi & jasa keuangan 0,05%. Secara month to month (m-to-m) provinsi ini mengalami deflasi 0,26%, sedangkan secara year to date (y-to-d) hingga September 2025 tercatat inflasi
3,26%.
Iman menuturkan perkembangan belanja APBN regional Sultra sampai dengan 30 September 2025 mencapai Rp17.668,60 miliar atau sebesar 67,59% dari pagu yang ditetapkan.
“Belanja negara ini terkontraksi sebesar 6,64% (y-on-y) disebabkan oleh realisasi belanja barang dan belanja modal yang kurang optimal disebabkan sebagian pekerjaan di Kementerian PU yang sangat bergantung pada cuaca serta adanya DAK Fisik yang gagal salur sebagai akibat kontrak yang tidak didaftarkan,” ucapnya.
Dia menambahkan, perkembangan pendapatan negara mencapai Rp3.132,37 miliar (57,61%dari target APBN), terkontraksi sebesar 2,09% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, penyebab kontraksi pada penerimaan pajak didorong dari penerimaan perpajakan pada sektor pertambangan yang kurang optimal sebagai dampak dari belum turunnya RKAB Tambang pada sebagian wilayah.
“Selain itu juga sebagai akibat turunnya permintaan aspal Buton dan harga nikel yang fluktuatif, serta adanya terdapat restitusi pajak yang cukup besar,” pungkasnya. (beritakota)







